Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara

Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara - Hallo sahabat PORTAL ISLAM 24 JAM, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara
link : Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara

Baca juga


Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara

KH. Abdurrahman Wahid. (Gus Dur)
KHAZANAH ISLAM, ARRAHMAH.CO.ID - Sebelum menyampaikan hasil pembacaan hermeneutika terhadap pemikiran Gus Dur, perlu ditegaskan alasan perlunya kajian ini. Perlunya kajian terhadap pemikiran Gus Dur, karena kehadiran Gus Dur sangat penting dalam memberikan pencerahan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. 

Banyak yang memperkirakan, bahwa tanpa kehadiran Gus Dur bagaimana mendapatkan benang merah relasi agama dan negara kesatuan republik Indonesia ini. Selain itu, kehadiran Gus Dur, juga memberikan benang merah relasi keberadaan seseorang sebagai umat Islam dan sebagai warga negara, memberikan benang merah antara muslim dan non muslim, mendudukkan fungsi Ulama dan Umara dalam bingkai NKRI.

Persoalan kebangsaan dan kewarganegaraan yang sulit dan tidak terbayangkan oleh masyarakat Indonesia pun dengan tegas berhasil diurai oleh Gus Dur. Misalnya, kasus dari tahun ke tahun tentang persoalan kesalahpahaman antara sesama warga negara yang sama sama berhak atas keadilan di muka hukum. Kasus stigma warga negara kedua dan warga negara ke satu, kasus adanya stigma minoritas di mata mayoritas, kasus moslim dan non muslim, kasus pribumi dan non pribumi, kasus korban kebijakan politik orde baru yang melibatkan aktivis kemanusiaan juga telah mendapatkan kesempatan dan hak yang sama di zaman pencerahan Gus Dur.

Selain itu, Gus Dur juga dengan berani mengurai tema sakral pada masa pemerintahan Orde Baru, yang meskipun di beberapa perguruan tingga manjadi kajian filsafat dan sosiologi, namun masih sangat riskan dibicarakan di tengah masyarakat, yaitu pembahasan tentang paradigma ideologi kiri di Indonesia. Sehubungan dengan tema ini, Gus Dur berhasil mempertanggungjawabkam secara akademik.

Dalam ulasannya, Gus Dur menunjukkan sikap akademik yang bebas dan mencerahkan, yang seolah olah ingin menegaskan, bahwa sebagai pengikut jejak kenabian, umat Islam perlu bersikap terbuka terhadap kearifan lokal dan bersedia berdialog dengan ideologi ideologi besar dunia, baik ideologi kiri yang ingin menjaga jarak dengan sistem kekuasaan maupun ideologi kanan yang selalu memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan kehendak kuasa dan kuasa kapital. Dengan demikian, agama kenabian semakin besar di tengah perkembangan zaman dan umat beragama benar benar bersikap terbuka berdialog dengan ideologi dunia.

Gerakan pemikiran Gus Dur ini, bukan tanpa alasan, sebab kebebasan beragama adalah hak sipil setiap individu yang sudah diatur dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Hal ini dijamin oleh UUD 1945, UU No.39/1999 tentang HAM, UUNO.26/2000 tentang Pengadilan HAM dan berbagai peraturan pemerintah yang lain.

Bagaimana tema pencerahan Gus Dur yang elok tersebut dalam konteks era sekarang? Jika tema pencerahan Gus Dur yang elok dikaitkan dengan era sekarang, justru kembali menjadi persoalan yang mengancam keberagamaan yang sudah mengakar di tengah masyarakat luas dan mengancam  model pribumiaasi Islam ala Walisongo dan model dinamisasi Islam perspektif Gus Dur.

Beberapa bukti fenomena yang menandai ancaman toleransi bagi keberagamaan dan keragaman bangsa, misalnya, adanya kebebasan beragama di Indonesia yang masih jauh dari perlindungan berbagai pasal yang diundangkan. Hal ini dapat dibaca pada beberapa kasus, seperti pembakaran rumah penganut Syiah di Sampang, penyerangan penganut Ahmadiyah di Banten dan pelarangan pembangunan gereja HKBP Philadelpia di Bekasi.

Sehubungan dengan insiden-insiden itu telah menunjukkan praktik kehidupan sosial agama di Indonesia yang diharapkan dapat berjalan damai dan toleran, namun setelah kepergian guru bangsa yang sudah menjadi teks emas studi ilmu keislaman, telah terabaikan para tokoh agama Islam dan beberapa Kiai. Contoh, jika zaman Gus Dur tidak ada kiai yang terlibat dalam aksi FPI atas nama Islam untuk mengintervensi kerja pemerintah terhadap kasus Pak Ahok, bahkan sekarang ini sudah ada beberap Kiai yang mengikuti aksi politis atas nama Islam.

Sekarang ini, juga terjadi relasi semu antara keberagamaan dan kewarganegaraan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah, seharusnya dilakukan individu atau masyarakat atas nama warga negara, bukan dilakukan individu atau masyarakat atas nama umat beragama. Umat beragama harusnya berbicara ajaran agama kepada umatnya. Jika ingin berbicara ajaran agama kepada masyarakat luas, bisa dilakukan dengan menyampaikan prinsip agama yang membebaskan dan mencerahkan umat manusia tanpa pandang bulu.

Dalam konteks kenegaraan, umat beragama bisa menguatkan nilai nilai keutamaan dan kebaikan kepada pemerintah. Umat beragama, juga bisa menguatkan nilai keutamaan yang terkandung pada prinsip ideologis dan falsafah negara, yaitu ideologi pancasila.

Sebagai contoh, adanya fenomena yang mengerikan dilakukan oleh umat Islam yang secara terus terang mengintervensi kerja pemerintah bukan mengatasnamakan sebagai warga negara, namun mengatasnamakan sebagai gerakan umat Islam menuntut, agar Pak Ahok diseret kepenjara. Jika model keberagamaan ini tidak segera diredam, maka agama akan menjadi simbolisme kerja pemerintah. Hal ini, tentu saja akan mengganggu kerja pemerintah.

Dalam konteks ini umat Islam, telah melakulan dua kesalahan: pertama, kesalahan mencampuradukkan prinsip agama dengan tuntutan politik. Kedua, membenturkan umat beagama dan ulama pada sistem politik yang seharusnya dilakukan bukan atas nama agama.

Jika mereka malakukan gerakan politis dengan tema membela Islam dan mejadikan simbolisme Islam untuk alat mengintervensi kerja pemerintah, maka akan mengganggu kerja pemerintah. Selian itu, sebagai tokoh umat Islam, bagaimana bersikap ramah dan memaafkan kepada mereka yang salah memahami Islam atau teks kewahyuan. Bukankah Pak Ahok, juga sudah meminta maaf: mengapa tidak dimaafkan?

Sehubungan dengan kasus Pak Ahok, terlepas dari bagaimana hasil kajian tim ahli, bukankah umat Islam lebih baik membca Pak Ahok dari akhlak mulia Nabi Muhammad. Misalnya, Nabi Muhammad sering membiarkan mereka yang mencaci agama wahyu (Islam) do satu sisi, namun di sisi yang lain, Nabi Muhammad selalu gigih membebaskan para budak dan melakukan pencerahan.

Nabi Muhammad menolak pinta Malaikat yang akan melempar gunung untuk masyarakat arab yang mencaci Nabi, sebaliknya justru Nabi Muhammad memohon kepada Allah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang belum memahami rahasia tauhid yang melebur dalam konteks kemanusiaan, keadilan dan persamaan. Nabi Muhammad juga memaafkan Da'tsur yang memgancam akan membunuh Nabi yang berulang kali berupaya hendak membunuh Nabi Muhammad.

Dan masih banyak contoh akhlak mulia Nabi Muhammad, yang dapat disimpulkan, bahwa jika yang dicaci adalah Nabi, kalam wahyu yang diplesetkam masyarakat arab, dan Islam sebagai agama dalam katagori yang diucapkan sesuai dengan nafsu mereka yang melawan Nabi. maka Nabi Muhammad tidak melakukan penghukuman terhadap kejahatan terkait. Bagi Nabi Muhammad yang perlu ditekankan, adalah hanya akan menyempurnakan risalah dengan berbagai resiko yang menghambat pembebasan dan pencerahan.

Dalam konteks keindonesiaan, bukankah sepanjang sejarah Indonesia selalu ada sosok yang menggunakan teks kewahyuan untuk kepentingan politik yang hanya sementara dan sesaat. Dalam konteks kedekatan dengan orang Yahudi, bukankah nabi semasa hidupnya selalu menjaga relasi baik dengan mayarakat Yahudi, Nasrani, dan suku suku yang lain dalam piagam madinah. Bukankah Nabi Muhammad juga menganjurkan sikap yang baik dengan tetangga yang meskipun telah kafir atau mengingkari kebenaran teks wahyu.

Jangankan hanya ungkapan Pak Ahok, diibaratkan cacian mereka yang kafir yang melebihi ungkapan seribu Pak Ahok pun,  pasti akan dimaafkan Nabi Muhammmad jika memohon maaf kepada Nabi Muhammad. Bukankah Nabi Muhammad bertugas untuk mengingatkan dan menyempurnakan akhlak mulia. Di antara akhlak Nabi terhadap mereka yang menentang risalah kenabian, adalah sosok Nabi yang bersikap memaafkan dan memohonkan ampunan dari Allah (fa'fu anhum was taghfirlahum).

Sikap memaafkan dan memohonkan ampunan ini, juga pernah dilakukan Nabi dengan berdoa," Allahumma Ihdi qaumi fa innahum laamya'lamun." Artinya, Ya Maulaya Ya Allah, bukalah hati dengan petunjukMu kepada umatku, (mereka berbuat demikian) karena sesungguhnya mereka belum mengetahui rahasia indah bertauhid dan bersikap manusiawi terhadap sesama umat manusia serta menjaga lingkungan yang lestari.


Makna Risalah Kenabian

Banyak yang masih memahami, baik dari kalangan pengamat maupum umat Islam, bahwa nabi berpolitik seperti laiknya para politikus. Pola pemahaman inilah yang seakan telah dijadikan  pembenaran kepada umat Islam untuk berpolitik praktis. Yang
lebih ironis, telah menjadikan agama sebagai tangan panjang kehendak kuasa atau kuasa kapital. Fenomena ini yang juga telah menguatkan semangat beberapa tokoh agama untuk turut bermain memperebutkan kekuasaan dan kue pembangunan.

Sehubungan dengan fenomena tersebut di atas, perlu pemahaman normatif dan historis terhadap kelangsungan risalah kenabian zaman Nabi Muhammad. Dengan demikian, tidak memandang sebelah mata terhadap penggunaan istilah politik dalam konteks risalah kenabian. Sebelum berbicara peran risalah kenabian di tengah perkembangan politik masyarakat, perlu dipahami alasan filosofis kemunculan makna politik, yaitu sebagai model kesenian masyarakat untuk mendapatkan kursi kekuasaan, baik yang dilakukan secara konstitusional maupun non konstitusional.

Secara umum, politik juga dipahami sebagai seni untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan dasar tujuan kekuasaan ini, para politisi sering melakukan dengan cara cara yang tidak sehat, sehingga muncul konsep politik yang menghalalkan segala cara dan menganggap, manusia adalah srigala bagi yang lainnya. Tujuan utama dari konsep ini, adalah memperebutkan kehendak kuasa. Dengan tanpa mempertimbangkan moralitas politik, maka akhir pencapaian pada kursi kekuasaan sering menyisakan relasi kuasa yang tidak seimbang. Realitas perkembangan politik seperti sekarang ini, telah menyimpang dari filosofi makna politik seperti yang pernah diungkapkan Aristoteles: politik adalah usaha yang ditempuh warganegara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Bagaimana dengan pengertian politik zaman risalah kenahian Nabi Muhammad? Politik, sosiologi, antropologi dan filsafat di zaman Nabi merupakan sebuah efek dari sistem pola hidup dan hubungan antar manusia. Meskipun sistem ini penting, namun ada yang lebih penting dalam risalah kenabian, yaitu sebuah kehadiran risalah kenabian Nabi Muhammad yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlak mulia. Yang di maksud dwngan akhlak mulia, adalah adanya gerak jiwa dan fisik, baik yang disadari atau tidak yang terefleksi dari perilaku manusia. Jika prinsip gerak jiwa dan fisik berlangsung secara positif, maka disebut dengan akhlak mulia (mahmudah). Sebaliknya, jika prinsip gerak jiwa dan fisik berlangsung secara negatif, maka  akan melahirkan akhlak yang buruk (madzmumah).

Sehubungan dengan arti penting akhlak, maka dapat dipahami, bahwa berbagai pendekatan yang terjadi di tengah masyarakat seperti politik, sosiologi, antropologi, dan falsafat, merupakan efek dari akhlak seseorang. Secara spesifik dapat dipahami, bahwa jika Nabi Muhammad berada di lingkungan mayarakat yang sudah berbudaya dan berakhlak mulia, Nabi akan berperan sebagai penguat atau penyempurna akhlak yang sudah baik, baik kepada Allah maupun kepada Umat manusia.

Sebaliknya, jika Nabi Muhammad berada di tengah masyarakat yang berakhlak buruk, maka Nabi Muhamad akan selalu berupaya untuk memperbaiki akhlak yang buruk tersebut menjadi akhlak yang mulia. Modeling penyempurnaan akhlak yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ini, adalah bentuk modeling kasih sayang dan sikap ramah Nabi Muhammad kepada lingkungan.

Meskipun Nabi Muhammad mendapatkan ancaman, hujatan, dan cacian dari masyarakat lingkungannya yang menolak risalah kenabian, namun Nabi tetap bersikap rahmat dengan lingkungannya. Berikut ini ciri akhlak mulia Nabi Muhammad: pertama, membentuk kesadaran kesatuan energi ketuhanan (ketauhidan) manusia. Kedua, melakukan pembebasan menjaga keyakinan agama, menjaga potensi kemanusiaan, menjaga kelangsungan potensi berfikir dan pengetahuan manusia, menjaga kelangsungan regenerasi umat manusia, menjaga keselamatan harta benda. Kelima hal ini merupakan ringkasan dari prinsip kewahyuan dan kenabian yang di ringkas oleh para ulama (waratsatul anbiya).

Mereka yang menentang risalah kenabian ini disebut dengan istilah kafir. Istilah kafir pada masa Nabi Muhammad, bukan untuk legitimasi klaim kebenaran diri dan kelompok sendiri versus mereka yang bukan bagian dari kelompok kepentingan sendiri. Istilah kafir bukan sebagai hiasan klaim kesalehan versus mereka yang mendapatkan cap kafir.

Pada zaman Nabi Muhammad, istilah kafir dapat dilihat langsung pada para pelaku kekafiran. Misalnya, mereka yang membuat kerusakan lingkungan hidup, mereka yang menentang kebenaran umum yang sudah diapahami. Ketidaktahuan seseorang belum mendapatkan cap kafir, karena ketidaktahuan merupakan sifat dari apa yang tidak diketahui manusia (al-Naas a'daa'u ma Jahilu).

Nabi Muhammad tidak pernah merendahkan, seseorang yang tidak mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui (rajulun laa yadri annahu laa yadri). Pesan singkat Nabi Muhammad kepada subjek yang belum tahu, agar sebaiknya berdiam saja (falyaqul khairan au liyasmut). Kehadiran Nabi Muhammad bukan untuk mengadili dan mengancam terhadap ancaman atas nama agama. Prinsip ini, sebagaimana ditegaskan dalam QS. AL Isra'/17: 36.

Bagaimana istilah kafir dalam teks kewahyuan? Istilah kafir, bermakna menutupi atau menghalangi (Al Munjid: 691). Secara umum, kafir bermakna menutupi nikmat Allah. Pengertian umum ini didasarkan pada penegasan QS. Ibrahim/14: 07, yang menegaskan manfaat orang yang bersyukur yang akan mendapatkan penambahan nikmat. Sebaliknya, bagi siapa saja yang menutupi nikmat, maka Allah akan menambahkan siksa-Nya kepada mereka yang menutupi nikmat Allah.

Dalam perjanjian suci di alam arwah, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al A'raf : 172, semua manusia telah menjadi muslim yang baik. Adanya perubahan ini, karena setelah ruh memasuki jasad manusia, manusia lebih banyak yang mengikuti angan angan kosong (alhawa) dan kebutuhan biologis (syahwat). Dua potensi inilah yang menekan manusia untuk menutupi nikmat yang diterimanya. Selain pengertian kafir ini, masih banyak teks yang menjelaskan tentang kekafiran, namun tidak ada yang memerinthakan bersikap keras terhadap siapa saja yang mengalami ketidaktahuan dan mereka yang sudah benar benar minta maaf.

Agama dan Hak Kewarganegaraan

Sebagai guru bangsa, sang pahlawan tanpa tanda jasa, Gus Dur telah memberikan kenangan kepada kita semua, yang tidak akan terlupakan oleh bangsa Indonesia dan umat manusia. Secara ringkas di antara teks bernama Gus Dur, dapat dipetik hikmah berikut: anak bangsa di negeri ini, setalah berlangsung sistem negara bangsa yang dipimpin oleh seorang presiden, memiliki dua predikat, yaitu sebagai umat beragama dan sebagai warga negara.

Agama dan bangsa bisa bertemu, namun beda cara kerja. Agama itu membebaskan dan mencerahkan umat. Sedangkan, negara melindungi kepastian kewarganegaraan anak bangsa dan memberikan keadilan yang sama antar sesama warga negara di muka hukum. Jangan ada diskriminasi dan relasi yang tidak seimbang antara yang berkuasa dan yang dikuasai.

Dalam konteks negara, agama dapat memberikan penguatan pada nilai keutamaan dan kebaikan yang akan ditetapkan negara melalui butir ideologi Pancasila. Sebaliknya, negara juga berkewajiban menjaga kelangsungan keberagamaan dalam konteks kebebasan beragama bagi warganegara. Dari kedua hubungan ini, umat beragama tidak mengintervensi kerja pemerintahan dan pemerintah tidak mengintervensi pola keberagamaan.

Dari kedua sub pembahasan di atas menegaskan simpulan, bahwa kritik terhadap pemerintah sebaiknya atas nama warga negara yang berhak atas kewarganegaraan, bukan atas nama agama atau tokoh agama. Karenanya, pada salah satu kasus penodaan agama biarlah warga negara yang berhak berbicara. Identitas agama seharusnya berbicara tentang hal hal yang bermakna pembebasan dan pencerahan.

Sedangkan hal hal yang terkait dengan kesalahan seseorang dalam kinteks pembacaan terhadap makna agama, tidak perlu disikapi dengan kemarahan atas nama agama. Teks agama bukan teks yang bersikap narsis terhadap teks itu sendiri. Jadi, berbuat salah dalam memahami agama itu hal yang wajar dan sering dialami para tokoh agama dan umat beragama. Sama halnya dengan salah memunculkan istilah agama, adalah merupaka sesuatu yang wajar, namun jangan sampai berbuat salah dalam dua hal: pertama, menghalangi orang yang ingin menjalani perintah agama. Kedua, memaksakan orang harus menjalankan perintah agama sesuai dengan keinginan paksaan pihak lain.

Dalam sejarah Nabi Muhammad, tidak ada adegan para penista agama, yang ada istilah berikut: pertama, istilah orang yang mendustakan agama seperti mereka yang menghardik anak yatim dan tidak mau memberikan makan kepada orang yang mengalami kemiskinan. istilah orang kafir merupakan istilah yang ditujukan kepada mereka yang melakukan kekejaman kemanusiaan, merusak lingkungan, tidak menerima kebenaran Islam. Dalam teks Al Qur'an telah disampaikan istilah kafir untuk mereka yang tidak mengakui kenabian Muhammad, namun karena tidak merusak lingkungan kosmologis dan kelangsungan ekologis, serta tidak melakukan pembrontakan, maka tetap mendapatkan perlindungan dari Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad tidak pernah memerangi mereka yang mengolok olok agama Islam. Jika ada gerakan perlawanan Nabi dan umat Islam kepada orang kafir, itu pun dilakukan dengan cara hikmah dan mauidzah hasanah. Beberapa ciri mereka yang akan berhadapan dsngan risalah kenabian, adalah mereka yang
merusak unsur kesemestaan dan merusak unsur kemanusiaan. Sikap Nabi Muhammad inilah yang kemudian diwariskan kepada para Ulama yang akan terus silih berganti melanjutkan risalah kenabian.

Rembang, 29/11/2016

Ubaidillah Achmad, Penulis buku Suluk Kiai Cebolek, Islam Geger Kendeng, dan khadim Majlis Kongkow As Suffah Sidorejo Pamotan Rembang, Dosen UIN Walisongo Semarang


Demikianlah Artikel Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara

Sekianlah artikel Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Merindukan Gus Dur: Membangun Kepribadian Bangsa dan Relasi Agama-Negara dengan alamat link https://portalislam24jam.blogspot.com/2016/12/merindukan-gus-dur-membangun.html

Subscribe to receive free email updates: